Ukuran arabic
بِسْمِ اللّٰهِ
Ukuran latin
Bismillâh

Go to

close

Pengantar Penerjemah

(Halaman 4)

 

Bersamaan dengan pertambahan usianya, bertambah juga kebencian Ali kepada kezaliman. Ia menyaksikan dengan matanya sendiri para pecinta Suara Keadilan dirampas hak-haknya sebagai manusia. Kekayaan mereka dijarah, kebebasannya dirampas, kehormatannya dicemari, dan keyakinannya dicurigai. Dahulu Rasulullah saw pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Wahai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang yang mukmin, dan tidak membencimu kecuali orang munafik.” Kini, Ali bin Husayn melihat para pecinta Ali dianggap sesat dan para pembencinya dipandang hormat.

Akhirnya, pada puncak kemudaannya, Ali bin Husayn menjadi saksi hidup dari tragedi terbesar umat Muhammad saw: Karbala. Di padang Karbala, pengkhianatan sahabat dan kelaliman musuh bergabung. Sebagai saksi hidup, tentu hanya Ali yang merasakan betapa beratnya mata memandang. Tetapi ia lebih dari sekedar saksi, ia juga merasakan beratnya bahu memikul. Pemandangan yang mengerikan di Karbala tidak pernah lepas dari mata hatinya. Bagaimana mungkin ia melupakan bongkah-bongkah daging yang bersimbah darah dan tercabik-cabik, padahal itu adalah jasad-jasad ayahnya, saudara-saudaranya, karib-kerabatnya, dan sahabat-sahabatnya? Siapa yang dapat melupakan jerit tangis keluarga Nabi saw yang dibiarkan kehausan dan kelaparan, kemudian diarak ratusan kilometer sebagai tawanan?

Dua puluh tahun lamanya Ali bin Husayn menangisi Karbala. Setiap dihidangkan makanan atau minuman ia menangis. Ia berkata, “Bagaimana aku bisa makan, padahal Abu Abdillah dibunuh dalam keadaan lapar? Bagaimana aku bisa minum padahal Abu Abdillah dibunuh dalam keadaan haus?.”

Para pembantunya jatuh iba kepadanya dan menasehatinya, “Tidakkah sekarang sudah sampai waktunya untuk menghentikan kesedihan dan mengurangi tangisan.” Ali menjawab, “Celakalah kamu, ingatkah kamu Nabi Ya'qub yang punya dua belas orang anak. Salah seorang di antara anak-anaknya dihilangkan Allah. Matanya memutih dan punggungnya melengkung karena terlalu banyak menangis, padahal anaknya yang hilang itu masih hidup. Aku terkenang pada ayahku, saudara-saudaraku, paman-pamanku dan tujuh belas orang anak paman-pamanku dibantai seperti hewan kurban. Aku terkenang bibiku dan saudara-saudaraku perempuan dikelilingi penduduk Kufah. Mereka minta pertolongan dan menangisi orang-orang yang terbunuh. Demi Allah, setiap kali aku mengenangnya airmataku tumpah tidak tertahankan.”