Ukuran arabic
بِسْمِ اللّٰهِ
Ukuran latin
Bismillâh

Go to

close

Pengantar Penerjemah

(Halaman 7)

Hatinya yang lembut karena berbagai musibat juga mewarnai doa-doa yang disampaikannya. “Innama asyku batstsi wa huzni ilallah. Aku adukan derita dan dukaku kepada Allah,” kata Imam. Ia memilih untuk mengungkapkan kepedihan hatinya dalam ibadat dan munajat, dalam menyembah dan merintih kepada Tuhan yang Mahakasih. Ia basahi sajadahnya dengan airmatanya. Ia bersujud kala mengenang penderitaan Ahli Bayt. Ia bersujud ketika selesai salat, setiap membaca Al-Quran, atau seusai mendamaikan orang yang bertengkar. Begitu seringnya ia bersujud sehingga gelaran As-Sajjad, ahli sujud, diberikan kepadanya.

Ia beribadat berlama-lama. Ia mengisi hampir seluruh waktu malamnya dalam rukuk dan sujud di hadapan Allah swt. Bekas-bekas salat tampak dalam bentuk kulit yang keras pada anggota-anggota tubuhnya. Karena itu ia mendapat gelar lagi Dzu Tsafanat, yang mempunyai kulit yang keras.

Bila kita melihatnya beribadat, kita akan berkata seperti para perempuan yang melihat Yusuf: Bukanlah ini manusia. Pastilah dia ini malaikat yang mulia. Ketika ia beribadat, ia tidak lagi berada di tengah-tengah kita. Ia berbeda dengan kita. Jauharnya berubah dari manusia biasa menjadi malaikat muqarrabin. Ruang dan waktu sudah tidak mengikatnya lagi. Dalam ibadatnya, ia terbang melintasi alam nasut, ke malakut, ke lahut, ke jabarut. Dia tidak lagi beribadat karena pahala dan siksa. Dia beribadat karena cinta. Sosoknya menjadi keindahan para abid. Dia menjadi Zainal 'Abidin.

“Ketika posisi ibadat kita bersifat formal, ritual, dan kosong dari ikatan kepada Allah, dan semata-mata ibadat lisan saja, posisi ibadat Zainal Abidin adalah posisi seorang pendeta yang gemetar gentar...posisi pemohon yang merendah hina...posisi orang yang hina dina.

Pada saat kalimat doa tidak keluar dari mulut kita kecuali pada waktu mendapat musibah dan kesusahan, Zainal Abidin menunjukkan kepada kita jalan ibadat dalam suka dan duka, dalam kenikmatan dan ujian. Pada saat kita melakukan kewajiban kita dengan susah dan berat, Zainal Abidin terus menerus ibadat khusyuk dan sujud, sehingga puteranya kuatir ayahnya akan  sakit. Pada saat hati kita gersang dari mata air munajat dan tidak mampu mereguk kelezatannya, Zainal Abidin menyeruak kegelapan malam yang pekat untuk bermunajat kepada Allah dan menikmati perjumpaan dengan-Nya.